Dampak Obesitas Pada Anak dan Cara Mengatasinya
Obesitas pada anak tidak hanya berdampak pada kesehatannya tetapi juga kehidupan sosialnya.
Majalahkartini.com – Data penderita obesitas pada anak di Indonesia dapat dilihat dari Riskesdas. Riskesdas menggunakan kriteria perbandingan tinggi dan berat badan untuk menentukan obesitas pada anak, dan angkanya sekitar 11,9%.
Selain dari Riskesdas, beberapa penelitian lokal menunjukkan prevalensi obesitas pada anak SD, antara lain penelitian tiga SD swasta di Jakarta Timur menunjukkan 27,5% anak obesitas dari 2.292 anak.
Untuk anak SD usia 10-12 tahun di lima wilayah DKI Jakarta ditemukan 15,3% anak obesitas dari 600 anak.
Menurut dr. Klara Yuliarti SpA(K), staf pengajar dari FKUI, kriteria obesitas pada anak yang benar adalah mengukur Body Mass Index (BMI), tidak sekadar perbandingan tinggi dan berat badan.
Penyebab obesitas pada anak sendiri multifaktorial. Bahkan faktor genetik yang terlibat dalam obesitas pun bukan hanya satu gen.
“Gen hanya mempengaruhi pada kecepatan metabolisme. Justru faktor lingkungan yang lebih berperan besar,” jelas Klara.
Obesitas yang disebabkan kelaianan genetik atau disebut obesitas endogen, jumlahnya hanya 10%. Meskipun kecil, tetapi obesitas endogen ini sangat sulit dikendalikan dan umumnya diikuti kelaianan lain, misalnya sindroma hipoventilasi (sesak napas), kaki bengkok (Blout’s disease) dan lain-lain. Ada 90% obesitas anak disebabkan kelebihan kalori dan kurang aktivitas fisik.
Obesitas, lanjut Klara, menimbulkan komplikasi jangka panjang seperti hipertensi dan gangguan profil lemak yang merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner (PJK). Obesitas juga memicu intoleransi glukosa yang merupakan awal dari diabetes melitus tipe 2. Komplikasi lain adalah sleep apnea (ganguan tidur), masalah persendian serta perlemakan hari dan batu empedu.
“Dengan kata lain, obesitas adalah penyebab berbagai penyakit kronis. Untuk mengelola obesitas anak tidak mudah sehingga lebih baik dilakukan pencegahan sedini mungkin,” jelas dr. Klara yang merupakan staf Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik, Departemen Ilmu Kesehatan Anak di FKUI/RSCM.
Dampak Obesitas Pada Anak Terhadap Kehidupan Sosialnya
Anak cabi terlihat lucu dan menggemaskan, tapi hal ini bukanlah prestasi yang harus dibanggakan orangtua. Sadarkah Anda bahwa anak yang overweight atau obesitas sangat berbahaya bagi kesehatan anak dalam jangka panjang.
Bukan hanya berdampak buruk pada kesehatan, anak juga akan merasakan dampak psikososial dalam hal penerimaan sosial.
Konsultan Psikolog Anak, Aurora Lumbantoruan M.Psi mengatakan bahwa kegemukan berdampak pada masalah emosi dan perilaku. Sebagai contoh, obesitas pada anak memiliki stigma atau stereotip yang cenderung negatif.
“Dari sudut pandang anak-anak misalnya, apakah anak gemuk nyaman diajak bermain oleh teman-temannya? Untuk permainan fisik yang kompetitif umumnya anak obesitas tidak dapat bergerak aktif atau lamban. Hal ini secara tidak langsung berdampak pada harga diri dan kepercayaan diri rendah,” jelas Aurora.
Remaja dan anak perempuan kata Aurora lebih terkena dampak sosial ini daripada remaja laki-laki yang gemuk.
Menurut dr. Klara Yuliarti SpA(K), staf pengajar dari FKUI, pencegahan dibagi menjadi pencegahan primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer dilakukan pada anak yang belum mengalami kegemukan, dengan cara menerapkan kebiassan makan sehat dan aktivitas sehat.
Ada semacam Food rules, yang harus dipatuhi yaitu mematuhi jadwal makan anak, hanya saat jam makan.
“Anak obesitas umumnya disebabkan berlebihan minum susu atau kebanyakan makan. Makan sebaiknya tidak boleh lebih dari 30 menit, dan tidak ada makanan lain di antara waktu makan kecuali buah,” terang dr. Klara.
Menurut ia, penerapan nutrisi seimbang lebih diutamakan dan tidak ada teori diet apappun untuk anak. Teori seimbang terdiri dari karbohidrat 50-60%, protein 15-20%, dan lemak <30%.
“Minuman untuk anak hanya air putih atau susu. Tidak boleh minuman kemasan dengan kandungan gula tinggi,” tegas Klara.
Untuk anak yang sudah terlanjur obesitas, perlu dilakukan pencegahan agar tidak terjadi komplikasi. Caranya dengan memantau BMI secara rutin, dan mendeteksi deposit lemak sejak dini. Deposit lemak sejak dini sebelum usia 6 tahun berkaitan dengan obesitas saat dewasa.
Salah satu langkah penting dalam mencegah obesitas adalah mengurangi gula. WHO merekomendasikan asupan gula bebas pada anak maupun dewasa, kurang dari 10% total asupan kalori dalam sehari.
Yang dimaksud gula bebas adalah monosakarida dan disakarida yang ditambahkan ke makanan dan minuman olahan, termasuk gula alami pada madu, sirup, jus buah, dan buah-buahan kaya kalori.
Konsumsi gula, dijelaskan Aurora ada hubungannya dengan faktor pendidikan dan sosial ekonomi pada keluarga.
“Kurang pengetahuan tentang makanan sehat menyebabkan orangtua cenderung membeli makanan tinggi lemak dan murah,” jelas Aurora.
Tidak semua anak berisiko obesitas. Anak yang overweight cenderung memiliki orangtua yang overweight.