Percaya Hoaks Dapat Hambat Kemajuan Teknologi
Hoaks (hoax) adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Hal ini tidak sama dengan rumor, ilmu semu, atau berita palsu, maupun April Mop.
Majalahkartini.com – Era digital saat ini memudahkan masyarakat untuk bertukar informasi, mencari bahan riset dan hasil penelitian dan bahkan sebagian besar media di Indonesia menyajikan berita yang dapat diakses dengan jaringan internet.
Jika hal ini dimanfaatkan dengan baik maka dapat memberikah dampak positif bagi masyarakat luas, tapi jika kemajuan teknologi digunakan untuk hal negatif maka akan membahayakan banyak pihak. Mempercatai hoaks dapat menghambat kemajuan teknologi.
Dilansir dari wikipedia berita bohong atau hoaks (hoax) adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Hal ini tidak sama dengan rumor, ilmu semu, atau berita palsu, maupun April Mop.
Tujuan dari berita bohong adalah membuat masyarakat merasa tidak aman, tidak nyaman, dan kebingungan. Dalam kebingungan, masyarakat akan mengambil keputusan yang lemah, tidak meyakinkan, dan bahkan salah.
Menurut KBBI, Hoaks mengandung makna informasi atau berita bohong, berita tidak bersumber. Menurut Silverman (2015), hoaks merupakan sebagai rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, tetapi “dijual” sebagai kebenaran.
Hoaks bukan sekadar misleading alias menyesatkan, informasi dalam fake news juga tidak memiliki landasan faktual, tetapi disajikan seolah-olah sebagai serangkaian fakta.
Percaya Hoaks Dapat Hambat Kemajuan Teknologi
Prof. Dr. Ibnu Hamad, M.Si selaku Guru Besar Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia berpendapat, di ranah akademik, ia setuju bahwa fondasi dari science communication adalah riset dan penelitian.
Sayangnya, kondisi saat ini masyarakat cenderung mengabsorbsi pesan-pesan yang beredar di media sosial tanpa mempertimbangkan kebenaran kabar tersebut dari fakta ilmu pengetahuan.
“Akibatnya menimbulkan post-truth, di mana masyarakat Indonesia lebih mempercayai opini yang beredar dibanding suatu kabar atau fenomena dari sudut pandang ilmu pengetahuan,” kata Prof Ibnu pada seminar media “Science Communication: Membangun Masyarakat Indonesia Berbasis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi”.
Dewasa ini, masyarakat sedang galau dengan pesan-pesan yang berkategori fake news, hoax, post truth, dan post fact. Begitu “canggihnya” fake news sehingga orang tidak bisa lagi membedakan fake news dari fact news.
“Fake news, hoaks, post truth dan post fact banyak dipraktikkan terutama oleh para pihak yang terlibat dengan perebutan pengaruh. Demi kepentingan dirinya masing-masing, mereka menciptakan opini publik melalui pembuatan wacana yang dengan sengaja mengabaikan fakta obyektif tetapi mengedepankan emosi,” papar Prof Ibnu.
Dari perspektif wacana (Discourse D besar), fake news dan sejenisnya mewujud dalam bentuk text, talk, act, dan artefact. Seperti pembuatan fact news, pembuatan fake news dilakukan melalui suatu proses yang disebut dengan Konstruksi Realitas.
Discourse (D besar) adalah narasi yang merangkaikan unsur Iinguistik pada “discourse” (dengan d kecil) bersama-sama dengan unsur-unsur non-linguistik (non-language “stuff) untuk memerankan kegiatan, pandangan dan identitas. Bentuk non-language “stuff‘ ini dapat berupa kepentingan ideologi, politik, ekonomi, dan sebagainya.
Komponen non-language ‘stuff’ ini juga yang membedakan cara beraksi, berinteraksi, berperasaan, kepercayaan, penilaian satu komunikator dari komunikator lainnnya dalam mengenali atau mengakui diri sendin dan orang lain. (James Paul Gee, 2005:26).
Memurut Prof Ibnu, seperti halnya fact news yang dibuat melalui proses konstruksi realitas demikian pula fake news dibuat melalui proses kontruksi realitas dengan hasilnya Discourse (dengan D besar) dalam wujud text, talk, act, den artefact.
“Yang membedakan keduanya adalah dalam motivasi yang berakibat pada pemedaan penggunaan strategi konstuksi realitas,” katanya.
Science communication dalam arti praktis berarti mengkomunikasikan ilmu atau teori atau hasil penelitian melalui berbagai metode dan media.
Sebagai anti tesis dari fake news, science communication juga bisa diartikan sebagai sebuah strategi bahwa saat berkomunikasi membuat Discourse dengan (D besar) hendaknya kita menyampaikan suatu topik pembicaraan sesuai dengan teori, penalaran topik pembicaraan tersebut.
Dalam praktik, empat komponen utama science communication yaitu data (bukan asumsi), analisis kausalitas (bukan klaim), interpretasi (bukan pembenaran), dan kesimpulan (bukan evaluasi).
“Dengan selalu menggunakan cara berpikir ilmiah, kita raih kembali kesejatian informasi dan kehidupan sosial kita,” pesannya.
Lebih lanjut Prof Ibnu mengungkapkan bahwa komunikasi berbasis ilmu pengetahuan (teori, metode ilmiah, dan data) bukan tak bisa lolos dari post truth dan post fact sebab ada celah kelemahan dalam kegiatan ilmiah.
Selama tiga tahun terakhir, capaian kinerja Kemenristekdikti telah berhasil merealisasikan berbagai target dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan tinggi, kemampuan iptek dan inovasi untuk mendukung daya saing bangsa.
“Dengan adanya wacana lain mengenai pemanfaatan nuklir seperti ini, diharapkan akan ada banyak anak muda yang tertarik untuk studi teknik nuklir,” ujarnya.
Prof Ali Gufron Mukti selaku Direktur jenderal Sumber Daya IPTEK dan DIKTI juga mengatakan saat ini masih banyak masyarakat yang percaya sesuatu hal yang tidak rasional seperti pengobatan yang hanya disembur atau penggandaan uang, sedangkan ada temuan iImu pengetahuan dan teknologi seperti pemanfaatan nuklir justru kerap dipandang sebelah mata.
“Ke depannya kami juga berharap melalui science communication ini, masyarakat tidak gampang ditipu dan percaya hoax. Semua berbasis rasional agar masyarakat menjadi knowledge citizen. Ingat, bangsa yang maju adalah bangsa yang terus berinovasi,” pungkas Ghufron.